Thursday, June 14, 2007

Terpukau Ilmu dan Kedermawaan

Melihat kebesaran orang lain tak selamanya dilarang. Ada kalanya kita harus menengok dan melihat kebesaran itu. Untuk kepentingan dan mashlahat yang dibenarkan.
Ilmu dan kedermawaan. Dua hal penting yang harus kita inginkan ada pada diri kita. Sebagaimana disabdakan Nabi,"Diperbolehkah hasad pada dua hal:
1. Seseorang yang diberikan harta yang selalu diinfakkannya.
2.Dan seseorang yang diberikan ilmu, dia mempergunakan ilmu tersebut dan mengajarkannya kepada orang lain."(HR. Bukhari dan Muslim dariAbdullah bin Mas'ud)
Kita tentu sering melihat orang yang hebat di bidang keilmuannya. Hati ini harus tergerak untuk mengikuti langkahnya. Mempelajaribagaimana ia bisa sampai pada posisi keilmuan yang tinggi. Bagaimana penemuan demi penemuan bisa lahir dari otaknya.
Kehebatan Imam Adz-Dzhabi dalam bidang hadits dan sejarah membuat IbnuHajar terpukau. Kecerdikan dan kepandaian serta hafalan yang kuat mencuatkan nama Adz-Dzahabi pada urutan orang-orang besar. Demi mengejar rasa ingin menjadi seperti idolanya, Ibu Hajar mendatangi sumber air zam-zam. Diambilnya segelas air yang pernah dianjurkan oleh nabi untuk berdo'a apa saja sebelum meminumnya. Ibnu Hajar lebih memilih untuk bisa mempunyai hafalan sekuat hafalan idolanya tersebut. Dari sinilah kemudian sejarah mencatat bahwa akhirnya IbnuHajar pun menjadi ulama besar yang meninggalkan karya-karya yang tak ternilai harganya.
Lebih spesifik lagi adalah ilmu Alqur'an. Inilah ilmu terbaik dan tertinggi. Dilihat dari kebenarannya yang mutlak. Sumber segala ilmu dan pengetahuan. Penuntun manusia menuju keselamatan di dunia ini dan di akhirat kelak.
Kita harus merasa 'iri' melihat mereka yang dimuliakan Allah dengan ilmu Al-Qur'an. Mampu membacanya dengan benar sesuai kaidah tajwidnya. Mampu menghafalnya. Dan yang lebih penting lagi mampu menterjemahkannya dalam kehidupan. Kemudian mengajarkannya kepada orang lain. Dalam riwayat lain, ilmu yang dimaksud dalam hadits di atas adalah ilmu Al-Qur'an.
Demikian juga dengan kedermawanan. Ketika kita melihat orang lain diberi kekayaan yang melimpah, lalu orang itu mendermakan kekayaannya itu di jalan Allah. Bahkan ada sebagian orang yang merasa gelisah bila harinya tidak dilalui dengan membagi kebahagiaannya kepada orang lain. Karena ia terbiasa menikmati kebahagiaan dirinya bersama orang lain. Kepada mereka-mereka itu kita boleh 'silau' dan 'iri'.
Jiwa ini perlu dilatih. Kalau pun belum sanggup untuk melaksanakannya hari ini, latihlah untuk memiliki rasa salut terhadap dua sumber kesilauan itu: kaya tapi dermawan, atau pintar dan mengajarkan. Paling tidak ada keinginan kuat untuk berbuat jika diberi kemampuan sepertiorang yang kita kagumi tersebut. Rasa keterpukauan yang tinggi akanmelahirkan niat untuk mengikutinya. Niat kuat inilah yang akanmembentuk fisik ini kuat untuk menempuh jalan menuju ke sana. Kalaupun ternyata kita tidak mampu mencapai tingkat kedermawanan danilmunya, paling tidak kita telah mengukir pahala dengan niat, kehendak dan usaha kita.
Imam Tirmidzi meriwayatkan hadits,"Dan seorang hamba yang diberikanrizki oleh Allah berupa ilmu tetapi tidak diberi harta. Dengan niatyang tulus dia berkata: Seandainya aku punya harta, aku akan berbuatbanyak seperti yang dilakukan fulan. Maka Allah menyamakan pahala keduanya."
Terpukau dengan kemampuan orang yang mampu mendidik dirinya hinggamenjadi ilmuwan dan dermawan, adalah sisi lain rasa keterpukauan yangpositif. Dari sana, sebuah kekuatan akan mengalir terus, memberi kitatenaga untuk terus berlomba dalam kebajikan.
(Tarbawi, edisi 55 Th. 4, Muharram 1424)

No comments: