Thursday, June 14, 2007

Konspirasi 11 September

DALAM penerbangan pulang ke Indonesia dari Berlin, saya membaca sebuah buku Verschwoerungen, Verschwoerungstheorien und Geheimnisse des 11.9. (Konspirasi, Teori Konspirasi dan Rahasia 11 September). Terbit awal September 2002, buku ini diduga akan menjadi best seller, tidak hanya di Jerman.
Penulisnya, Andreas Broeckers, yang dikenal sebagai penulis ilmiah, wartawan, dan mantan penanggung jawab rubrik budaya sebuah harian terkenal di Jerman berasumsi, "Tanggal 11 September 2001, bukan hanya hari ketika terjadi sebuah aksi teror yang sangat kejam dan mengerikan, tetapi juga menyimpan berbagai kejanggalan yang bizarre, latar belakang yang disembunyikan, kontroversi yang fantastik, dan cerita berbagai operasi strategis intelijen". Apa pasal? Broeckers adalah seorang investigator.
Dalam bukunya, ia "melawan" pendapat umum yang terbentuk lewat arus utama pemberitaan yang memperoleh pasokan data resmi. "Setelah aksi polisi terbesar sepanjang sejarah", demikian Broeckers pada akhir bukunya, "bukti-bukti yang dikumpulkan tentang keterlibatan Osama bin Laden dan Al Qaeda, beberapa jam setelah kejadian dan satu tahun kemudian masih sama, nyaris tidak ada". Ia lalu bertanya, siapa yang memperoleh keuntungan dan patut diduga terlibat dalam aksi teror yang menewaskan ribuan jiwa itu. Bukan untuk mengedepankan sebuah teori konspirasi baru, tetapi agar cara berpikir konspiratif yang mewabah saat ini menjadi produktif lewat keraguan ilmiah. Karena, "Tanpa sebuah teori konspirasi yang balance, sulit memahami dunia saat ini yang sangat kompleks dan penuh konspirasi". Sebagai bagian masyarakat dunia, menjadi penting bagi kita untuk bertanya seberapa jauh informasi dan asumsi "lain" tentang latar belakang aksi teror 11 September, bisa menjadi bahan pertimbangan dalam upaya memahami "nafsu perang" kelompok keras dalam Kabinet Bush untuk membasmi terorisme internasional.
KETIKA 7.12.1941, bagaikan terbangun dari "mimpi di siang bolong", pesawat tempur Jepang menyerang Pearl Harbor, seluruh rakyat AS bersatu padu dan amat marah (indignation) terhadap Kekaisaran Matahari Terbit. Saat ini, para ahli sejarah mengatakan, sebenarnya Presiden Roosevelt sejak awal mengetahui rencana penyerangan itu. Bahkan, konon, dialah yang memprovokasi Jepang. Roosevelt ingin terlibat Perang Dunia II, padahal, hingga Pearl Harbor, mayoritas rakyat AS (88 persen) tidak sepakat denganmaksud itu. Ketika 11 September 2001, bagaikan "mimpi di siang bolong", empat pesawat terbang sipil berpenumpang "menyerang" gedung kembar WTC (World Trade Center) dan Pentagon, komunitas masyarakat beradab AS dan seluruh dunia amat marah atas perbuatan biadab itu. Pelaku danmusuh pun langsung diidentifikasi, Osama bin Laden dan kelompok Islam fundamentalis Al Qaeda. George W Bush mengumumkan Perang Dunia melawan "Terorisme Internasional". Tanpa 11 September, aksi itu kurang mendapat dukungan. Kini cukup banyak indikasi, Pemerintah AS sebenarnya telah mempunyai informasi tentang rencana teror itu.
Sejak awal, Broeckers curiga terhadap penilaian seragam media massa (mainstream) atas kejadian itu. Serempak, termasuk media massa dengan reputasi internasional dan biasanya bersikap kritis, seakan menjadi "juru bicara" Gedung Putih. Dalam mencari informasi lebih luas dan alternatif, dari hari ke hari Broeckers melanglang buana di Internet sambil meluncurkan "mesin investigatif" yang bermuatan berbagai pertanyaan baru. Dalam pencariannya, selama berbulan-bulan ia menyediakan online magazine "telepolis" sebagai notulensi investigasi yang telah diklik oleh jutaan pengunjung serta memicu diskusi dan debat panas dan produktif.
Apakah sejak 11 September, dunia tidak seperti sebelumnya? Kenyataannya, banyak kejadian yang lain sama sekali. Ambil contoh, kakek Prescott Bush mendanai dan mendukung Hitler, sebelum Hitler digilas tentara AS. Anaknya, George Bush, saat menjadi orang nomor satu di CIA, mempersenjatai Saddam Husein, untuk kemudian sebagai Presiden AS menggempurnya dalam Perang Teluk. Perusahaan minyak pertama milik cucunya, George W Bush yang kini Presiden AS, ternyata memperoleh penghasilan dari dagang dengan keluarga besar Bin Laden.
Osamah bin Laden, demikian Broeckers, adalah produk intelijen AS yang didukung penuh sebagai kelompok teror melawan Uni Soviet. Pada Januari 2001, pemerintahan Bush yang baru dibentuk melarang FBI dan CIA menghentikan menyidikan terhadap klan Bin Laden. Menurut harian Perancis Le Figaro, pada Juli 2001, seorang utusan CIA menjenguk Bin Laden yang dirawat di rumah sakit AS di Dubai.
Lalu, simak data berikut. Jenderal Mahmud Ahmed, Kepala Dinas Intelijen Pakistan (ISI), yang berkolaborasi erat dengan CIA, pada Juli 2001 mentransfer uang sebesar 100 ribu dollar AS kepada "pilot teroris" Muhammad Atta. Selain itu, dari tanggal 4 hingga 19 September 2001, Jenderal Mahmud Ahmed melakukan kunjungan resmi ke AS dengan tujuan "Pembicaraan tentang Taliban". Tanggal 11 September 2001, ia bersantai makan pagi di Capitol Hill dengan dua orang ketua divisi intelijen AS.
Pada hari itu, meski Komandan Angkatan Udara AS mengetahui pembajakan empat pesawat yang melaju mendekati daerah larang terbang (no fly areas), toh dibutuhkan waktu lebih 75 menit sebelum pesawat pemburu diizinkan take off untuk menghalang-halangi. Terlambat. Dari berbagai informasi yang diperoleh, Broeckers menjadi kian curiga, karena banyak menemukan bolong dan tidak sinkronnya detail dalam versi resmi peristiwa 11 September. Ia bertanya, mengapa, misalnya, hubungan radio dengan tower dan informasi dari kotak hitam (flight recorder), tidak dipublikasikan? Lalu, mengapa nama 19 pembajak tidak ditemukan dalam daftar penumpang? Dan lima tersangka pelaku pembajak bunuh diri itu ternyata sehat walafiat. Mengapa tidak ada foto atau video yang merekam bangkai pesawat yang dikabarkan menghunjam Pentagon?
Mengapa bangkai pesawat lainnya berserakan dengan jarak puluhan mil satu dari lainnya? Apakah pesawat itu jatuh ditembak? Apa pula alasan pengunduran diri John O'Neill, ketua tim penyidik Bin Laden, delapan minggu sebelum 11 September? Apa saja hubungan bisnis langsung keluarga Bush dan Bin Laden? Kepentingan bisnis apa yang dimiliki Halliburton, perusahaan milik Wakil Presiden Cheney dalam proyek pipa gas di Afganistan? Mengapa pada Juli 2001 dilakukan perundingan rahasia dengan Pemerintah Taliban tentang pembangunan saluran gas itu? Mengapa penyidikan FBI terhadap beberapa murid sekolah penerbangan yang dicurigai, dihentikan oleh Gedung Putih? Mengapa Bush dan Cheney menekan pemimpin oposisi Dashley untuk menghindari rencana Kongres melakukan "penelitian mendalam" tentang peristiwa 11 September?
Berbagai pertanyaan dan kecurigaan yang menggantung itu membutuhkan klarifikasi. Jawaban benar atasnya layak diketahui tidak hanya oleh keluarga puluhan ribu korban tak berdosa di New York dan di Afganistan, tetapi juga oleh dunia. Agar nanti tidak menjadi ganjalan dalam sejarah anak manusia. Atau, kebenaran atasnya baru terungkap jauh di kemudian hari dan sekadar menjadi catatan buram sejarah peradaban. Bagi AS, klarifikasi atas semua pertanyaan dan kecurigaan itu kini amat penting, terutama untuk memperkuat legitimasi kepemimpinannya dalam memerangi terorisme internasional. Sesuatu yang, seharusnya, relatif mudah bagi negara yang dijuluki "Kampiun Demokrasi".
--DR IVAN A HADAR, Presiden IDe (Indonesian Institute for Democracy Education)

No comments: